PEMERINTAHAN - Pernahkah Anda berpikir, bagaimana rasanya jika para pejabat yang biasa melenggang mulus di jalanan dengan voorijder dan sirene meraung harus merasakan hidup seperti rakyat biasa? Terjebak macet, bayar tol, bayar pajak, dan kalau tak ingin terlambat, ya harus berangkat lebih awal. Bukan sekadar "minta jalan" dengan sirene yang memaksa pengendara lain minggir.
Mari kita bayangkan. Pejabat kita harus bangun lebih pagi, memeriksa jadwal dengan hati-hati, memastikan tidak ada waktu terbuang percuma. Tanpa voorijder, mereka harus menghadapi kenyataan bahwa jalan raya bukanlah milik mereka sendiri. Mereka ikut dalam arus lalu lintas yang penuh tantangan, bersama sopir angkot yang berhenti mendadak, ojek online yang zig-zag, hingga antrean panjang di lampu merah yang tak kunjung berganti hijau.
Kalau takut terlambat, solusinya sederhana, jalan lebih awal. Inilah yang dilakukan rakyat setiap hari. Mereka bangun sebelum fajar, menyiapkan diri lebih cepat, bahkan meninggalkan rumah satu atau dua jam lebih awal untuk memastikan tidak terlambat ke tempat kerja atau sekolah. Tapi, apakah pejabat rela meninggalkan zona nyaman mereka? Rela mengatur jadwal dengan lebih baik tanpa bergantung pada voorijder?
Sebagai rakyat, kita tahu bagaimana rasanya bayar pajak kendaraan setiap tahun. Pajak yang katanya untuk memperbaiki infrastruktur. Tapi kenyataannya, kita masih harus berjibaku di jalan berlubang, macet di pintu tol, dan menunggu lampu lalu lintas yang sering kali tak berfungsi. Pejabat juga bayar pajak, kan? Kalau iya, bukankah lebih bijak jika mereka juga merasakan perjuangan di jalanan seperti rakyat yang membiayai fasilitas itu?
Baca juga:
Wako Hendri Septa Lantik 9 Pejabat Eselon II
|
Tanpa voorijder, mereka akan tahu rasanya terjebak macet di tengah truk besar, motor yang zig-zag, atau mobil pribadi yang saling berebut ruang di jalan. Mereka akan merasakan frustrasinya harus berhenti mendadak di perbaikan jalan yang tak kunjung selesai. Lebih penting lagi, mereka akan paham bagaimana rakyat mengatur waktu dengan cermat, karena terlambat berarti pemotongan gaji, kehilangan pelanggan, atau dimarahi atasan.
Dan soal bayar tol, bayangkan para pejabat ikut mengantre di gerbang tol seperti kita. Tidak ada jalur khusus. Tidak ada dispensasi. Mereka harus memastikan saldo e-toll cukup, menghadapi kemacetan di pintu keluar, dan merasakan betapa tol yang mahal pun tidak menjamin perjalanan bebas hambatan. Ketika mereka merasakan ini, mungkin akan ada empati yang tumbuh—pemahaman bahwa fasilitas publik harus benar-benar melayani semua, bukan hanya segelintir orang.
Baca juga:
Satpol PP Padang Disiapkan Jadi Pasukan Elit
|
Maka, bapak dan ibu pejabat, kalau tidak mau terlambat, bangun lebih awal. Kelola waktu dengan baik, seperti rakyat biasa yang sudah melakukannya setiap hari. Tidak perlu voorijder. Karena pada akhirnya, jalan raya ini milik bersama. Kalau kita sama-sama bayar pajak, sama-sama bayar tol, kenapa hak kita di jalanan harus berbeda? Mari mulai dari langkah sederhana: tinggalkan voorijder, nikmati macet, dan jalan lebih awal. Siap mencoba?
Jakarta, 18 November 2024
Hendri Kampai
Ketua Umum Jurnalis Nasional Indonesia/JNI/Akademisi